Moratorium Ekspor Benih Lobster: Ujian Kedaulatan Laut Indonesia

- Pewarta

Wednesday, 17 September 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pengamat maritim DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa: Jika serius, Indonesia bisa berdaulat di laut, sejahtera di darat.

Pengamat maritim DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa: Jika serius, Indonesia bisa berdaulat di laut, sejahtera di darat.

Maritim Indonesia – Kebijakan ekspor benih bening lobster (BBL) kembali berubah arah. Pada awal 2024, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di bawah Menteri Sakti Wahyu Trenggono sempat membuka kembali keran ekspor dengan harapan memberikan peluang ekonomi bagi nelayan dan pelaku usaha. Kebijakan tersebut kala itu dipandang sebagai upaya untuk menyeimbangkan antara kepentingan nelayan kecil dengan kebutuhan pasar global yang masih tinggi terhadap lobster konsumsi dan menimbulkan banyak pro dan kontra di lingkungan masyarakat maupun akademisi.

Namun dalam perjalanannya, berbagai persoalan muncul. Penyelundupan tetap marak, harga benih tidak terkendali dan manfaat bagi negara ternyata sangat minim. Hingga akhirnya, pada September 2025 ini, pemerintah memutuskan kembali menutup keran ekspor melalui kebijakan moratorium.

Pengamat maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Center (ISC) yang juga Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Tani Merdeka Indonesia, DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, menilai moratorium ini haruslah ditangkap sebagai tonggak baru dalam tata kelola hasil laut nasional.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Walaupun saat kebijakan pembukaan ekspor BBL tahun 2024 lalu, saya termasuk pihak yang mengkritisi dan menolaknya, kebijakan moratorium ini haruslah kita apresiasi dan sambut bersama. Karena hal ini, merupakan cerminan bahwa Pemerintah mau belajar dari kesalahan dan adaptif terhadap masukan masyarakat. Kebijakan harusnya bukan hanya persoalan bisnis, melainkan harus dipandang sebagai strategi nasional untuk menegakkan kedaulatan maritim sekaligus memperkuat daya saing ekonomi biru,” ujar Capt. Hakeng di Jakarta, Rabu (17/9).

Lebih lanjut, pengamat maritim yang kritis dari IKAL Strategic Center (ISC) ini menjabarkan, selama bertahun-tahun benih lobster dari perairan Nusantara mengalir deras ke Vietnam dan Tiongkok. Negara-negara itu kemudian mengembangkan industri budidaya, hingga menuai keuntungan besar dari hasil ekspor lobster konsumsi ke pasar global. Ironisnya, Indonesia sebagai sumber benih utama justru hanya mendapat sedikit manfaat. Menurutnya, moratorium mengoreksi praktik lama yang melemahkan posisi Indonesia.

“Kita harus berhenti jadi penyedia benih mentah, lantas membangun industri bernilai tambah di dalam negeri,” tegasnya seraya mengimbuhkan bahwa Vietnam tercatat sangat bergantung pada pasokan benih dari Indonesia.

Disebutkan olehnya bahwa data Mongabay Indonesia tahun 2024 menunjukkan, industri budidaya lobster Vietnam bisa mengimpor hingga 600 juta ekor per tahun.

“Jika setiap ekor dikenakan tarif PNBP Rp 5.000, potensi penerimaan negara bisa mencapai Rp 1,5 triliun setiap tahun. Namun peluang itu banyak hilang akibat praktik penyelundupan,” tutur Capt. Hakeng seraya menyebutkan bahwa Studi Universitas Gadjah Mada pada 2023 memperkirakan kerugian akibat ekspor ilegal lebih dari Rp 1 triliun per tahun.

Kasus demi kasus terus terungkap. Pada 2024, Bea Cukai bersama Balai Besar KIPM berhasil menggagalkan penyelundupan 174.000 ekor benih senilai Rp 26,5 miliar menuju Singapura.

“Itu hanya yang tertangkap. Angka sebenarnya bisa jauh lebih besar, selama Indonesia tidak mampu mengendalikan rantai distribusi benih, negara lain akan terus menikmati keuntungan dari kelemahan tersebut,” ungkapnya.

Selain pertimbangan ekonomi, lanjutnya, moratorium juga didasarkan pada alasan ekologi. Benih lobster yang diambil dari alam dalam jumlah besar berpotensi mengancam regenerasi populasi.

“Prinsip blue economy menuntut kita menjaga laut sebagai warisan generasi mendatang,” ujarnya.

Indonesia menargetkan produksi budidaya lobster sebesar 7.220 ton pada 2024, namun capaian pada 2020 baru sekitar 1.377 ton, kesenjangan ini menunjukkan bahwa eksploitasi benih selama ini tidak sebanding dengan hasil budidaya.

“Jika terus dipanen tanpa kendali, dalam jangka panjang stok lobster di alam bisa kolaps,” ungkap Capt Hakeng.

Untuk mendukung moratorium, pemerintah membentuk Satuan Tugas BBL yang melibatkan Bakamla, TNI AL, Polri, Bea Cukai, hingga kejaksaan. Tim lintas lembaga ini bertugas mengawasi jalur distribusi dan mencegah penyelundupan. Meski demikian, Capt. Hakeng memberi catatan kritis.

“Koordinasi lintas lembaga sering jadi persoalan klasik. Tanpa sistem komando yang jelas, Satgas hanya jadi simbol,” katanya.

Ia menekankan pentingnya pengawasan terhadap pelabuhan tikus yang kerap dijadikan jalur ilegal, pemanfaatan satelit untuk patroli laut, serta penerapan sistem logistik digital agar pergerakan benih bisa dipantau secara real time. Harapan terbesar dari moratorium ini adalah percepatan budidaya domestik. Program percontohan di Batam sejak 2024 menjadi bukti bahwa peluang itu terbuka lebar. Sebanyak 33.143 ekor benih ditebar di unit pendederan, dengan tingkat hidup lebih dari 80 persen sebelum dipindahkan ke keramba jaring apung, menurut data resmi KKP tahun 2025.

“Ini bukti bahwa teknologi bisa memperbesar kapasitas domestik,” kata Capt. Hakeng.

Lebih jauh disampaikan, Indonesia perlu meniru pendekatan riset di Jepang yang menekankan pengembangan hatchery untuk pembiakan buatan. Dengan teknologi tersebut, tekanan terhadap populasi benih di alam dapat berkurang drastis dan rantai produksi lobster nasional bisa lebih mandiri. Namun kebijakan ini tidak terlepas dari dampak sosial. Ribuan nelayan pesisir selama ini menggantungkan hidup dari menangkap benih lobster.

“Kalau nelayan tidak diberi jalan keluar, mereka akan kembali ke jalur ilegal,” kata Capt. Hakeng.

Ia mendorong pemerintah menyediakan skema transisi yang adil, antara lain pelatihan keterampilan budidaya, akses permodalan, hingga insentif produksi. Bagi Capt. Hakeng, hal itu bukan semata soal ekonomi, melainkan juga soal keadilan sosial.

“Nelayan kecil harus jadi bagian dari perubahan, bukan korban,” ujarnya.

Dikatakan juga, pengalaman negara lain dapat menjadi cermin penting. Antara lain Jepang fokus pada riset hatchery yang memutus ketergantungan pada benih alam.

Kita bisa juga mengadopsi cara Australia, dimana mereka menerapkan kuota tangkap dengan pengawasan ketat, bahkan menutup wilayah tangkap jika stok menipis. Vietnam memang berhasil membangun industri besar, tetapi kelemahannya adalah ketergantungan penuh pada pasokan benih impor.

“Dari sini kita belajar bahwa kunci ada pada riset, regulasi disiplin, dan kemandirian pasokan,” jelas Capt. Hakeng.

Dia menilai bahwa kebijakan moratorium pun berimplikasi pada hubungan internasional, khususnya dengan Vietnam. Selama ini, Vietnam menjadi salah satu importir utama benih dari Indonesia. Dengan ditutupnya keran ekspor, industri mereka berpotensi terganggu.

“Diplomasi ekonomi harus berjalan beriringan,” tutur Capt. Hakeng.

Ia menyarakan agar pemerintah bisa membuka peluang investasi bagi pihak asing untuk ikut serta dalam budidaya di Indonesia, alih-alih hanya membeli benih. Dengan begitu, nilai tambah tetap berada di dalam negeri, sementara kerja sama regional tetap terjaga. Dia juga menekankan bahwa moratorium ini adalah simbol nasionalisme maritim.

“Ini bukan sekadar soal lobster, melainkan kedaulatan bangsa. Laut kita harus kembali untuk rakyat, sesuai sila kelima Pancasila, yakni Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” tegas Capt. Hakeng.

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu mengelola sumber daya alamnya sendiri, bukan sekadar penyedia bahan mentah bagi industri negara lain. Moratorium ini adalah ujian apakah kita benar-benar berdaulat di laut,” katanya.

Pemerintah kini tengah menyiapkan Peraturan Presiden yang mencabut Permen KP No. 7 Tahun 2024 sehingga ekspor benih kembali ilegal sepenuhnya. Langkah itu dipandang sebagai ujian konsistensi.

“Kalau serius, Indonesia bisa berdaulat di laut, sejahtera di darat, dan disegani dunia. Syaratnya jelas, yakni modernisasi budidaya, pengawasan ketat, dan perlindungan nelayan kecil,” pungkas Capt. Hakeng. (ire djafar))

Berita Terkait

Medsos Lebih di Gandrungi Publik Ketimbang Link Berita Resmi, Apa Kata Komdigi
Management Walkthrough API Seksi 1 GT Telaga Asih, Pastikan Keamanan dan Kenyamanan Pengguna Jalan
Perkuat K3, MTI Banjarmasin Gelar Sosialisasi CLSR dan Safety Induction di Pelabuhan Trisakti
ASDP Kembali Raih Penghargaan Kepatuhan dan Pemenuhan SPM Angkutan Penyeberangan Terbaik 2025
Konferensi EAHC, Tegaskan Komitmen Regional dalam Keselamatan Maritim dan Pembangunan Kapasitas Hidrografi Berkelanjutan
Harhubnas 2025: Sinergi Pangkalan PLP Tanjung Priok dan KSOP Panjang Perkuat Kesiapsiagaan Maritim
Pelindo Marine Dukung Keselamatan Pengolongan Kapal di Sungai Tersibuk di Indonesia
Perkuat Keamanan Rantai Pasok Nasional, ASDP Hadirkan Jalur Khusus Logistik B3

Berita Terkait

Thursday, 18 September 2025 - 21:28 WIB

Medsos Lebih di Gandrungi Publik Ketimbang Link Berita Resmi, Apa Kata Komdigi

Thursday, 18 September 2025 - 13:14 WIB

Management Walkthrough API Seksi 1 GT Telaga Asih, Pastikan Keamanan dan Kenyamanan Pengguna Jalan

Thursday, 18 September 2025 - 10:31 WIB

Perkuat K3, MTI Banjarmasin Gelar Sosialisasi CLSR dan Safety Induction di Pelabuhan Trisakti

Thursday, 18 September 2025 - 05:39 WIB

ASDP Kembali Raih Penghargaan Kepatuhan dan Pemenuhan SPM Angkutan Penyeberangan Terbaik 2025

Thursday, 18 September 2025 - 03:13 WIB

Konferensi EAHC, Tegaskan Komitmen Regional dalam Keselamatan Maritim dan Pembangunan Kapasitas Hidrografi Berkelanjutan

Berita Terbaru