
Maritim Indomesia — Tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali pada Rabu malam, 2 Juli 2025, menambah daftar panjang tragedi pelayaran nasional yang menelan korban jiwa. Kurang dari 30 menit setelah bertolak dari Pelabuhan Ketapang menuju Gilimanuk, kapal naas tersebut karam di salah satu jalur laut tersibuk di Indonesia, meninggalkan duka mendalam bagi keluarga korban serta menjadi alarm keras bagi sistem keselamatan pelayaran nasional.
Pengamat maritim dari IKAL Strategic Center (ISC), DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, S.SiT., S.H., M.H., M.Mar., menilai peristiwa ini bukan sekadar kecelakaan teknis, tetapi mencerminkan kegagalan sistemik dalam tata kelola keselamatan pelayaran, mulai dari aspek teknis, operasional, hingga tanggung jawab kelembagaan.
“Truk dan kendaraan berat di atas kapal penyeberangan bukan hanya penumpang pasif. Mereka adalah beban dinamis yang harus diamankan dengan sistem lashing agar tidak bergeser saat terjadi guncangan,” ungkap Capt. Hakeng.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Tanpa lashing yang disiplin, stabilitas kapal bisa terganggu dan mengakibatkan kemiringan hingga tenggelam,” tegasnya.
Dalam manifest, KMP Tunu Pratama Jaya memuat 22 kendaraan termasuk 14 truk tronton dan mengangkut 65 orang. Sayangnya, dugaan sementara menunjukkan tidak semua kendaraan dilashing dengan baik. Capt. Hakeng menyebut kelalaian seperti ini sangat fatal dan tidak bisa dibenarkan oleh alasan efisiensi, keterbatasan alat, atau tekanan jadwal.
“Praktik keselamatan di lapangan terlalu sering dikalahkan oleh tekanan ekonomi. Pengejaran jadwal, intervensi dari pemilik kendaraan, dan kelonggaran petugas lapangan menciptakan kombinasi mematikan. Padahal, aturan pemerintah sudah jelas, pengamanan muatan adalah bagian tak terpisahkan dari syarat kelayakan pelayaran,” imbuhnya.
Ia menekankan bahwa dalam banyak kasus, kapal diberangkatkan tanpa inspeksi menyeluruh. Petugas kadang menutup mata demi kelancaran operasional. Dalam konteks ini, tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya adalah bentuk kegagalan etis dan kelembagaan.
“Insiden ini seharusnya menyadarkan kita bahwa reformasi total dalam sistem keselamatan transportasi laut tidak bisa ditunda. Audit menyeluruh terhadap armada kapal penyeberangan aktif harus segera dilakukan, terutama yang melayani jalur-jalur vital seperti Selat Bali,” tegas Capt. Hakeng.
Ia juga menyoroti pentingnya pengawasan berlapis di pelabuhan. Pemeriksaan tidak boleh sekadar cek visual atau manifest semata. Syahbandar dan operator pelabuhan harus bertanggung jawab penuh terhadap kelayakan pelayaran, tanpa kompromi.
Tak hanya pemerintah pusat, Capt. Hakeng menilai pemerintah daerah, BUMN pelabuhan, dan operator swasta juga memikul tanggung jawab yang sama besar. Menurutnya, budaya keselamatan harus tumbuh sebagai komitmen bersama, bukan sekadar slogan atau SOP di atas kertas.
“Sanksi tegas harus diberikan kepada petugas atau operator yang terbukti lalai. Lebih dari itu, perlu evaluasi ulang terhadap sistem sertifikasi keselamatan bagi awak kapal dan operator,” katanya.
Ia menambahkan bahwa simulasi penyelamatan dan pelatihan evakuasi harus menjadi latihan rutin, bukan sekadar seremoni. Bahkan, penumpang pun harus dibekali pemahaman mengenai keselamatan sejak dari pembelian tiket hingga berada di atas kapal.
“Keselamatan tidak boleh dianggap urusan belakang. Laut tidak pernah memberi ampun terhadap kecerobohan. Pendidikan keselamatan harus menjadi budaya, bukan formalitas,” ujar Capt. Hakeng.
Ia menutup pernyataannya dengan seruan bahwa tragedi KMP Tunu Pratama Jaya tidak boleh sekadar menjadi headline berita, tapi harus menjadi pelajaran kolektif dan momentum perbaikan menyeluruh.
“Negara harus hadir tidak hanya saat evakuasi, tetapi juga dalam pencegahan. Solusi jangka panjang ada pada budaya keselamatan yang hidup dan mengakar di seluruh lini transportasi laut Indonesia,” tutup Capt. Hakeng. (ire djafar)