Maritim Indonesia — Ketegangan bersenjata antara Iran dan Israel yang terus memanas telah mengguncang sistem logistik global. Konflik ini langsung memicu lonjakan harga minyak dunia hingga menyentuh USD 120 per barel dan mengancam stabilitas jalur pelayaran vital di Selat Hormuz, yang menyalurkan hampir sepertiga ekspor minyak dunia.
Menurut DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, pengamat maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Center (ISC), gangguan di kawasan Teluk Persia dapat menyebabkan efek berantai serius bagi ekonomi dunia, termasuk Indonesia.
“Ketika jalur energi terganggu, sistem logistik global ikut terhantam. Rute, waktu, dan biaya berubah drastis. Ini pukulan telak, termasuk untuk sektor pelayaran Indonesia,” tegas Capt. Hakeng.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia menilai bahwa sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia sangat terdampak. Dalam hitungan minggu, biaya pengapalan dari dan ke pelabuhan domestik melonjak akibat kenaikan harga bunker fuel dan premi asuransi, menyebabkan tarif angkut naik hingga 20–30 persen.
Dampaknya langsung terasa di pelabuhan utama seperti Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan Belawan, yang mengalami perlambatan arus barang. Banyak operator kapal menunda atau mengalihkan pelayaran mereka karena ketidakpastian risiko dan biaya.
“Nelayan kecil kini harus membayar lebih dari dua kali lipat untuk solar. Banyak yang memilih tidak melaut. Di daerah seperti Bitung, Kendari, dan Sibolga, ini berarti krisis pasokan dan lonjakan harga ikan,” ujar Capt. Hakeng.
Tak hanya sektor perikanan, industri pelayaran nasional juga terpukul. Sebagian besar armada domestik masih menggunakan kapal tua, sehingga tidak tahan terhadap lonjakan biaya bahan bakar dan asuransi. Akibatnya, frekuensi pelayaran menurun, efisiensi terganggu, dan ancaman PHK massal mulai membayangi.
Dari sisi fiskal, lanjutnya, situasi ini menambah beban pemerintah. Sebagai negara net importir minyak, subsidi energi bisa membengkak hingga Rp 75 triliun bila harga minyak dunia terus bertahan di atas USD 110 per barel.
“Biaya logistik domestik yang naik berarti inflasi naik, harga kebutuhan pokok ikut melonjak, terutama di Indonesia timur yang sangat bergantung pada distribusi laut,” paparnya.
Meski demikian, Capt. Hakeng melihat ada peluang strategis. Ketika jalur pelayaran global mulai menghindari Teluk Persia, Indonesia berpotensi menjadi simpul alternatif di Asia Tenggara. Namun, kesiapan pelabuhan seperti Patimban dan Kuala Tanjung dinilai belum optimal.
“Hambatan struktural seperti kedalaman alur, dwelling time, konektivitas hinterland, dan reformasi digital masih jadi pekerjaan rumah. Kalau belum kompetitif, investor pelayaran global akan tetap pilih Singapura atau Port Klang,” kritiknya.
Ia juga menyoroti risiko lanjutan berupa fragmentasi sistem perdagangan global akibat sanksi sekunder Amerika terhadap negara-negara yang berdagang dengan Iran. Walaupun Indonesia bukan mitra strategis Iran, tetap terkena imbas melalui jalur dagang yang makin terbatas.
Capt. Hakeng menegaskan bahwa pemerintah harus segera merespons secara strategis. Percepatan pembangunan pelabuhan bertaraf internasional, kebijakan fiskal untuk melindungi pelayaran rakyat, serta modernisasi sistem logistik nasional menjadi hal mendesak.
“Ekonomi maritim adalah urat nadi kedaulatan bangsa. Jika tidak dikelola dengan serius, krisis eksternal sekecil apa pun bisa mengguncang fondasi nasional. Tapi jika diperkuat, sektor maritim bisa jadi tameng menghadapi badai global,” pungkasnya. (ire djafar)