Maritim Indonesia – Indonesia Procurement Watch (IPW) mengkritik program Coretax yang disebut-sebut mengalami berbagai kendala teknis dan dugaan penyimpangan dalam pengadaannya. Direktur Advokasi dan Investigasi IPW, Ronal, menilai Coretax justru menghambat wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan mereka.
“Sulitnya akses, error dalam sistem, serta ketidakmampuan aplikasi dalam menjalankan fungsi-fungsi penting seperti penerbitan e-faktur dan permintaan sertifikat digital telah menimbulkan kerugian bagi wajib pajak serta berpotensi mengurangi penerimaan negara,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (7/2).
Lebih lanjut, Ronal mengungkapkan bahwa proyek yang menelan anggaran lebih dari Rp1,3 triliun ini diduga mengandung berbagai penyimpangan dalam proses pengadaannya. IPW menemukan indikasi ketidakterbukaan dalam penunjukan agen pengadaan, peran tim konsultan, hingga proses penentuan pemenang tender.
“Berdasarkan penelusuran kami, pengadaan proyek ini tidak mengikuti ketentuan Perpres 16/2018 yang telah diubah dengan Perpres 12/2021 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa proyek ini memang sejak awal didesain tidak transparan, dengan adanya pelaksana proyek yang telah disiapkan sebelumnya,” jelas Ronal.
IPW juga mengungkap bahwa proyek Coretax tidak melalui sistem Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Pemerintah (LKPP). Sebaliknya, Menteri Keuangan selaku pengguna anggaran menunjuk langsung Tim Pengadaan atau Agen Pengadaan berdasarkan Perpres 40/2018 tentang Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan.
“Jika penyisipan aturan pengadaan Coretax dalam Perpres 40/2018 dimaksudkan untuk menghindari mekanisme seleksi yang lebih ketat dan mengabaikan prinsip akuntabilitas, maka ini berpotensi terjadinya penyelundupan hukum (fraus legis),” tegas Ronal.
Salah satu yang disoroti IPW adalah peran Agen Pengadaan yang memiliki kewenangan besar dalam menentukan pemenang proyek. Menurut Ronal, hal ini menimbulkan pertanyaan besar terkait dasar dan pertimbangan Menteri Keuangan dalam menunjuk Agen Pengadaan tersebut.
“Apa alasan menggunakan Agen Pengadaan? Apakah ini membuka peluang bagi favoritisme dalam pemilihan perusahaan? Kami juga menemukan bahwa semua perusahaan yang terlibat dalam proyek ini adalah perusahaan asing. Apakah memang tidak ada perusahaan lokal yang mampu mengerjakan proyek ini?” ujar Ronal.
Indikasi Pembengkakan Anggaran
IPW juga menemukan kejanggalan dalam penentuan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) proyek ini. HPS proyek Coretax ditetapkan sebesar Rp1,73 triliun, sementara harga pemenang tender adalah Rp1,22 triliun, selisih hampir Rp500 miliar.
“Biasanya selisih antara HPS dan harga pemenang hanya sekitar 1%. Namun dalam proyek ini, selisihnya terlalu besar, yang menunjukkan bahwa HPS disusun tidak dengan analisis teknis dan pasar yang wajar,” ujar Ronal.
Berdasarkan perhitungan IPW, harga wajar untuk proyek ini seharusnya berkisar antara Rp700–800 miliar. Bahkan, jika dibandingkan dengan proyek DeepSeek AI yang hanya menghabiskan 6,5 juta USD atau sekitar Rp96 miliar, biaya pembangunan Coretax dinilai terlalu mahal.
“Ini menunjukkan ada dugaan pembengkakan anggaran. HPS yang besar bisa saja disusun untuk memberi kesan bahwa proyek ini telah melalui proses penawaran harga yang ketat, padahal nilai proyek seharusnya bisa jauh lebih kecil,” tambahnya.
Dengan berbagai permasalahan yang terjadi pada Coretax, IPW mendesak agar ada audit menyeluruh terhadap proyek ini.
“Kami meminta transparansi penuh dari pemerintah dalam pengelolaan anggaran proyek ini. Jika memang ditemukan penyimpangan, maka pihak terkait harus bertanggung jawab,” tutup Ronal. (ire djafar)